PADA HARI KE 13
Pada hari ke 13 aku kedatangan tamu, anakku.
Tidak ada secangkir teh panas dan sepiring jadah, aku sibuk mencari jagung untuk ibumu
Pada hari ke 13 itu, anakku, aku kedatangan tamu, anakku
Gerimis yang datang tiba-tiba, tak mampu membekukan arus darah, ini orang susah
Di setiap emper pedagang kaki lima depan rumah sakit yang tak pernah kusangsikan, aku mencari jagung untuk ibumu
Gerimis tak henti-henti menggagahi tubuh kering, ini orang susah yang aku tahu ketika bercermin pada genangan air got
Ini bulan ke 14 pada hari ke 13
Aku masih setia memunguti sisa umurku, kamu dan ibumu,
Sebenarnya kenapa tanah kita harus patah oleh milyaran liter air yang menggenangi lebih dari separo bumi, dan jauh, anakku
Aku tidak ingin memberikan ruang bagi mimpi-mimpi malam yang tersusun di kamar sebelah meja komputer.
Pada hari itu, hari ke 13 aku kedatanganmu, anakku
Tertatih aku mengumandangkan adzan yang hampir tak kukenal
Eyangmu yang sering kubuat nangis saat aku keluar pagar dan berpencar sampai pada lukisan-lukisan, dan jalan-jalan kota yang jahat, kau buat nangis lagi
“apa dosa kita terlalu besar Bun?”
Itu bulan ke 3 bukan pada hari ketiga belas, anakku
Terbanglah hanya beberapa waktu aku ikut terbang melewati gumpalan mega-mega yang bercerita tentang masa depan yang berada dibelakang. Lalu aku pulang!
Pergilah!
Biar kini eyangmu nangis olehku,olehmu
Akupun takkan membiarkan airmatanya mengaliri sepi tanpaku.
Atau pulang saja pada hari ke 13 bulan purnama kapanpun.
Semarang-Langkir 17 Mei 2008
HANYA KISAH REMEH TEMEH CINTA
“Di ujung jalanku menuju pulang, di sebuah warung internet,
pertemuan kita begitu singkat. Hanya beberapa foto saja sengaja kau tinggal di meja
akupun belum sempat meneguk sisa cappuccino, keburu kau pergi”
tiap hari berita kematian dikoran-koran hampir memenuhi satu halaman. Tiap huruf ku eja barangkali namamu, kekasih, yang tercantum di salah satu kolomnya.
Semarang-Langkir 17 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar