“Seberapa hebat perasaan rindu kepada seorang kekasih, ternyata rindu ayah kepadamu mengalahkan segalanya, nak…”
Entah kenapa aku benar-benar merasa yakin. Menjadi seorang Aku yang seperti saat ini, pasti bukan pilihan. Terjerembab di jurang kerinduan yang dalam kepada seorang El, malaikat kecilku. Betapa seharusnya saat ini aku berbahagia, bercanda dengan anak perempuan pertamaku. Terlepas dari perasaan apakah sebenarnya aku masih betul-betul mencintai istriku.
Tepatnya El, berusia empat bulan kurang tujuh hari saat ia bersama istriku meninggalkanku pergi ke rumah mertuaku di Pekanbaru, Riau.
Aku tidur di ruang tamu memeluk bantal guling El. Malam ini bau kecut keringat El masih ada. Tapi, mulai pudar. Memang tak biasanya aku tidur diruang tamu. Aku melihat mainan El, boneka monyet yang mendiamkannya saat ia merengek minta tetek ibunya, baju-baju cantik, perlak dan kelambu yang sedikit rusak hanya itu yang masih tertinggal dan menumbuhkan kenangan-kenanganku bersama El dan istriku.
Terkadang aku menyalahkan Tuhan disaat seperti ini. Aku merasa jika Tuhan selalu menggunakan haknya untuk menghukum hambanya dan bagiku ini bukan keadilan “atau memang seperti ini keadilan Tuhan?”. Ah, entahlah yang penting saat ini aku merasakan kehancuran untuk yang kesekian kalinya. Aku dipaksa untuk menghadapinya.
***